Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Dengan demikian, citra kota pun meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
Pendahuluan
Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir, selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta, Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.
Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran, perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk, drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya (Dyayadi, 2008).
Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.
Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran (Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.
Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka tinggali. Kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota yang bersangkutan. Inilah lingkaran setan yang harus diputus, agar dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.
Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural.
Pembahasan
Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis (physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran manusia secara persuasif.
Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat fisikal harus didukung pula dengan tindakan-tindakan persuasif berdasarkan pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli kota itu.
Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.
Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja, pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.
Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyuban-paguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.
Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangan-kekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu, kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.
Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu. Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.
Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.
Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.
Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.
Penutup
Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH), khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:
1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri.
3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah.
Referensi
Dyayadi. 2008. Tata Kota menurut Islam: Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik dan Berbasis Sosial. Jakarta: Khalifa
Chapman, Alan. 1995. Maslow’s Hierarchy of Needs. diakses dari http://www.businessballs.com/maslow.htm pada tanggal 5 Januari 2009
Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo
Lewis, Julie, Perry Walker & Catherine Unsworth (eds.). 1998. Participation Works! 21 Techniques of Community Participation for the 21st Century. London: New Economics Fondation
Stea, David. 1984. Space, Territory and Human Movements. dalam Wilson, Forrest, A Graphic Survey of Perception and Behaviour for the Design Professions. New York: Van Nostrand Reinhold