Kamis, 29 April 2010

“Jatidiri Arsitektur Indonesia yang Hilang”

Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, ketika perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju, maka perkembangan arsitektur – terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus tanpa ada saringan yang cenderung menghilangkan jatidiri.

Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu, diperlukan pula kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.

Kini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang tidak mempunyai ‘jati diri indonesiawi’-nya.

Interaksi antara Pemilik Bangunan, Peraturan Daerah dan Arsitek perlu memiliki kesamaan pandang – kendati pada kenyataannya terdapat banyak perbedaaan yang tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah atau ruang sebagai kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi pengembangan masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan yang dinamis.

Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di atas, maka lambat atau cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan berantakan, sebab sikap Arsitek berbeda dengan pemakai maupun pengamat karya arsitektur dalam memandang dan memikirkan tata lingkungan buatan sebagaimana dilakukan sebagian orang. Dengan hadirnya arsitektur, masyarakat mempunyai persepsi dan kebutuhan yang berbeda karena dipengaruhi berbagai cara oleh sifat lingkungan sebagai akibat dari perilaku Arsitek dalam melakukan rancangannya.

Karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur seringkali dinilai kurang kompromi dengan lingkungannya. Terciptanya karya arsitektur yang cocok dan sesuai dengan lingkungan-nya tentu bukan monopoli dari si Arsiteknya saja. Penjabaran dan perwujudan akan tata nilai ekonomis karya arsitektur akan melibatkan semua pihak. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sudah memiliki preferensi dalam kognisinya tentang bentuk-bentuk yang ditampilkan sebagai bentuk-bentuk yang secara historis pernah menjadi miliknya. Dari Pemberi Tugas (bouwheer) tentu sangat diharapkan bisa menahan emosi kehendaknya, sehingga Arsitek dapat merealisir gagasan bouwheer dengan baik dan optimal.

Sumber, budi fathony

Tidak ada komentar:

Posting Komentar