Senin, 30 Mei 2011

KONSERVASI ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK



Konservasi arsitektur batak biasanya dapat ditujukan terhadap arsitektur bangunan ritual, adat seperti rumah batak. Rumah batak merupakan karya arsitektur yang sangat memberikan inspirasi terhadap desiagn, serta pilosovi bangunan.

Orang batak cenderung meninggalakan rumah peninggalan nenek moyang mereka, bahakn pada pemukiman atau perkampungan batak rumah btak ini cenderung tidak dirawat dan tidak ditempati. Apa yang terjadi apa bila secara terus menerus masyarakat batak selalu berorientasi terhadap banguan semi permanen sebagai serapan dari arsitektur modern. Orang batak maupun orang indonesia terlebih arsitektur cenderung mengikuti arsitektur modern, internasional style yang bersumber dari benua eropa, negara maju. Dilain pihal, mereka tidak melihat kelebiahan arsitektur warisan budaya nenek moyang yang diikat dengan filosofi design secara alami dan imajinasi yang tinggi. Rumah batak hanya satu contoh dari ribuan warisan budaya nenek moyang indonesia, yang sengaja saya tulis tentang keadaanya yang sudah hampir punah, punah dalam artian tidak ada lagi arsitektur rumah yang belajar dari design rumah tersebut padahal banyak kelebihan arsitektur rumah itu.
Sehingga sangatlah penting untuk tetap menjaga exixstensi arsitektur khas batak tersebut, atau dengan kata lain harus dikonservasi, ada hal pertimbangan untuk mengkonservasi arsitektur tersebut

Estetika
Ukiran has yang disebut gorga, bentuk atap, permainan struktur dengan teknologi tradisional,seperti mengikat dengan rotan,

Kelangkaan
Perlahan-lahan rumah batak sudah tidak sudah hilang dan tidak menjadi bagian budaya yang mendasar pada orang batak secara perlahan - lahan

Keistimewaan
Rumah batak sudah mengadopsi sistem konstruksi yang mengilhami konstruksi modern, memilki arsitektur matematis yang sudah tersirat dalam banguanan.

Peranan Sejarah
Menjadi nilai histori pola perubahan dan peradaban masyarakat batak

Memperkuat Kawasan
Menjadikan rumah batak sebagai icon arsitektur tradisional, menjadi kekuatan sebuah tempat didaerah batak terlebih tapanuli supaya tetap menjaga kelestarian rumah batak. Sera menjadi daya tarik kawasan untuk menunjang pertumbuhan pariwisata.

Filosofi yang terdapat pada Rumah Adat Batak
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.

Proses Mendirikan Rumah.
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan.
Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.

Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit jungjung.

Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.

Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.

Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.

Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati.“

Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”

Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di Sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.

Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para�para dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.

Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.

Gorga

Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang disebut dengan “gorga” dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.
Gorga itu dihiasi (dicat) dengan tlga warna yaitu wama merah (narara), putih (nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah kepemimpinan.
Sebelum orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga mereka memakai “batu hula” untuk warna merah, untuk warna putih digunakan “tano buro” (sejenis tanah liat tapi berwana putih), dan untuk warna hitam didapat dengan mengambil minyak buah jarak yang dibakar sampai gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan air taji dari jenis beras yang bernama Beras Siputo.
Disamping gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang dikenal sebagai “singa-singa”, suatu lambang yang mengartikan bahwa penghuni rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai rnanusia berbudaya. Singa-singa berasal dari gambaran “sihapor” (belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan ditempatkan di sebelah depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor lunjung untuk singa-singa Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.
Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan “Metmet pe sihapor lunjung di jujung do uluna” yang artinya bahwa meskipun kondisi dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu beruntung namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga integritas dan citra nama baiknya.

Perabot Penting

Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah “ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan” adalah sebagai tempat air untuk keperluan memasak.
Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan dibuat “pangumbari” yang gunanya sebagai tempat meletakkan barang-barang yang diperlukan sehari-hari seperti kain, tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya adalah “Ni buat silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali”.
Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga yang mahal biasanya disimpan dalam “hombung”, seperti sere (emas), perak, ringgit (mata uang sebagai alat penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting, marmjam sisi, runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam jenis tati-tali seperti tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu pege dan lain sebagainya.
Karena orang Batak mempunyai karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di kala penghuni rumah meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada acara yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini disebut dengan “ungkap hombung” yang disaksikan oleh pihak hula-hula.
Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan barang-barang yang disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama dengan hombung hanya saja ukurannya lebih kecil dan tidak semewah hombung.
Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang disebut “dalihan”. Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak menjadi dua, sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.
Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang kesudiannya untuk menerima tamu dengan hati yang senang yaitu “paramak so balunon” yang berarti bahwa “amak” (tikar) yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut digunakan sudah datang tamu yang lain lagi.
“Partataring so ra mintop”
menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu mempunyai bara api tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit dan siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.
“Parsangkalan so mahiang”
menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal mungkin untuk memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang biasanya dari daging ternak.
Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi untuk dapat hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian yang memadai, sehingga disebut “Parrambuan so ra marsik”.
Tikar yang disebut “amak” adalah benda yang penting bagi orang Batak. Berfungsi untuk alas tidur dan sebagai penghangat badan yang dinamai bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang mengatakan “Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum marbere”.
Jenis lain dari tikar adalah rere yang khusus untuk digunakan sebagai alas tempat duduk sehari-hari dan bila sudah usang maka digunakan menjadi “pangarerean” sebagai dasar dari membentuk “luhutan” yaitu kumpulan padi yang baru disabit dan dibentuk bundar. Tentang hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Sala mandasor sega luhutan” di mana pengertiannya adalah bahwa jika salah dalam perencanaan maka akibatnya tujuan dapat menjadi terbengkalai.

Selasa, 01 Maret 2011

KONSERVASI ARSITEKTUR

Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetap memperhatikan, manfaat yang dapat di peroleh pada saat itu dengan tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan, masa depan.

Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut :

  1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
  2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial (Randall, 1982).
  3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
  4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).

Permasalahan konservasi arsitektur dapat dibahas dari berbagai sudut pandang modal budaya, modal teknologi dan modal ekonomi.

Dari sudut pandang modal budaya,

Konservasi perlu karena sebuah kota tumbuh dan berkembang secara menerus dan dinamis, yang dalam kebutuhannya akan perkembangan tersebut memerlukan ruang dan tempat yang kadang terkendala keterbatasan dalam penataan ruang dan pembangunan prasarana dan sarana kota yang sering dengan menghapus bagian-bagian kota yang lama termasuk gedung-gedungnya dan menggantikannya dengan lingkungan-lingkungan yang baru termasuk generasi baru dari gaya dan citra dari bangunan-bangunannya.

Namun sejarah kota akan lebih mudah dikenal oleh generasi-generasi berikutnya bila di ’sisakan’ contoh untuk mengenal lebih nyata tentang masa lalu untuk menjadi pengetahuan tentang gaya kehidupan dan memahami perubahan jati diri sebuah kota.khususnya mengenai arsitektur dan lingkungannya karena hal ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi pengenalan dan pemahaman budaya dan peradaban di masa lalu dan keterkaitannya dengan masa kini.

Dari sudut teknologi

Beberapa dasawarsa terakhir ini timbul beberapa perubahan pandangan dalam metodologi atau cara konservasi.Yaitu dengan adanya perkembangan dalam teknologi beton dan bahan komposit organik lainnya ternyata cara-cara yang diperkirakan sudah umum dalam proses pemugaran sudah dinilai kurang memadai dan perlu dicari kiat-kiat baru.Di dalam hal ini diperlukan kesertaan para ahli yang profesional (profesional skills) baik dari segi pendekatan filosfi pemugaran ataupun dari segi teknologi pemugaran bangunan Di dalam pemugaran bangunan tidak ada dua situasi yang sama. Setiap kasus memerlukan perlakuan yang khas secara profesional dari segi pengenalan fisik dan konteks sejarah dari bangunan tersebut. Di Eropa Barat banyak sekali bangunan gedung tua yang bersejarah yang dimanfaatkan kembali untuk berbagai fungsi yang baru namun terancang terpadu dengan pembangunan gedung yang baru sama sekali dalam penggunaannya.

Dari sudut ekonomi

Dalam perkembangan kota di masa kini, pemugaran arsitektur kota terancang terpadu dengan program-program revitalisasi kota. Salah satu sasarannya adalah untuk meningkatkan nilai fungsi ekonomi kota tersebut antara lain potensinya sebagai pesona kepariwisataan. Menjual ruang kota dan arsitektur sebagai tempat tujuan wisata hanyalah merupakan salah satu dari kiat untuk menilai bahwa konservasi dapat bernilai ekonomi. Sudah banyak para ahkli ekonomi memberi pemikiran bagaimana bangunan dan lingkungan cagar budaya kota, dapat di berlakukan sebagai (heritage)-estate property dan dapat dihitung nilai ekonominya serta bagaimana kiat-kiat pengelolaannya.

Selasa, 18 Mei 2010

KEPADATAN DAN KESESAKAN DALAM PERILAKU ARSITEKTUR

Salah satu persoalan rumit yang dihadapi kota-kota di Indonesia pada masa kini adalah persoalan penduduk, tanah dan lahan permukiman dan usaha. Paling tidak pada sekitar 1900-an isu tentang peledakan penduduk, kemiskinan, lapangan pekerjaan dan perumahan serta gejala urbanisasi mulai mengemuka di Jawa, sebagaimana tercermin dalam isu tentang Mindere Welvaart (Kemerosotan Kemakmuran) yang muncul pada masa itu. Isu-isu itu mengundang tuntutan perbaikan kebijakan dari pihak pemerintah. Kebijakan Politik Etis dengan trilogi programnya, yaitu pendidikan, emigrasi dan irigasi, dan kebijakan Perbaikan Kampung ( Kampung Verbeteringen ), penanggulangan kesehatan, pendirian Lumbung Desa, Bank Perkreditan Rakyat, dan lainnya yang dilancarkan pada sekitar dua dekade pertama awal abad ke-20 merupakan solusi penting terhadap persoalan yang mengemuka pada masa itu. Semuanya itu melatari perjalanan perkembangan kota-kota di Indonesia.

Kesesakan (crowding) dan kepadatan (densitiy) merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara di dunia di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia didunia tidak terbatas.Kesesakan dan kepadatan yang timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial di banyak negara (misalnya : Indonesia, India, Cina, dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikis dalam perspektif psikologis. Contoh permasalahan social yang nyata dalam perspektif psikologis dari kesesakan dan kepadatan penduduk adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destruktif.

Berdasarkan fenomena yang muncul dari dari realitas kini dan perkiraan berkembangnya dan timbulnya masalah di masa yang akan datang, maka dalam perspektif psikologi lingkungan kiranya dipandang tepat untuk menjadikan kesesakan dan kepadatan menjadi argumen bagi suatu pengkajian secara lebih dini dan lebih mendalam dalam usaha mengantisipasi persoalan-persoalan sosial yang pasti akan timbul pada masa kini dan masa yang akan datang.


Kepadatan adalah :

- Sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (Sundstrom, dalam Wrightsman & Deaux, 1981).
- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat apabila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Akibat dari kepadatan penduduk:
BERKURANGNYA KETERSEDIAAN LAHAN
Peningkatan populasi manusia atau meningkatnya jumkah penduduk menyebabkan tingkat kepadatan semakin tinggi .Pada sisi lain ,luas tanah atau kahan tidak bertambah.Kepadatan penduduk dapat mengakibatkan tanah pertanian semskin berkurang karena digunakan untuk pemuliman penduduk.

KEBUTUHAN UDARA BERSIH
Setiap makluk hidup membutuhkan oksigen untuk pernapasan .Demikian pula manusia sebagai makluk hidup juga membutuhkan oksigen untuk kehidupanya.Manusia memperoleh oksigen yang dibutuhkan melalui udara bersih .Udara bersih berati udara yang tidak tercemar,sehingga huyakitas udara terjaga dengan baik.Dengan udara yang bersih akan diperoleh pernapasan yang sehat.

KERUSAKAN LINGKUNGAN
Setiap tahun ,hutan dibuka untuk kepentingan hidup manusia seperi untuk dijadikan lahan pertanian atau pemukiman .Para ahli lingkungan memperkirakan lebih dari 70%hutan didunia yang alami telah ditebang atau rusak parah .Menigkatnya jumlah penduduk akan diiringi pula dengan meningkatnya penggunaan sunber alam hayati.Adanya pembukaan hutan secara liar unbtuk dijadikan tanah pertaniaan atau untuk mencari hasil hutan sebagai mata pencaharian penduduk akan merusak ekosistem hutan .

KEBUTUHAN AIR BERSIH
Air merupakan kebutuhan mutlak makhluk hidup .Akan tetapi,air yang dibutuhkan manusia sebagai mkhluuk hidup adalah air bersih.Air bersih digunakan untuk kebutuhan penduduk atau rumah tangga sehari-hari.Air bersih merupakan air yang memenuhi syarat kualitas yang meliputi syrat fisika ,kimia ,dan biologi.Syarat kimia yaitu air yang tiidak mengandung zat-zat kimia yang membahayakan kesehatan manusia .Syarat fisika yaitu air tetap jernih(tidak brubah warna),tidak ada rasa ,dan tidak berbau.Syrat Biologi Yaitub air tidak mengandung mikrooganisme atau kuman-kuman penyakit.

Kesesakan adalah :

- Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu prosesinterpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.

- Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat kerena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1987; Holahan, 1982).

Teori-Teori kesesakan
1. Teoari Beban Stimulus
Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses stimulus atau info dari lingkungan.
Menurut Keating, Stimulus adalah hadirnya banyak orang dan aspek-aspek interaksinya, kondisi lingkunga fisik yang menyebabkan kepadatan social. Informasi yang berlebihan dapat terjadi karena :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
2. Teori Ekologi
Membahas kesesakan dari sudut proses social
a. Menurut Micklin :
Sifat-sifat umum model pada ekologi manusia :
1. Teori ekologi perilaku : Fokus pada hubungan timbale balik antara manusia dan lingkungan.
2. Unit analisisnya : Kelompok social, bukan individu dan organisasi social memegang peranan penting
3. Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial
b. Menurut Wicker :
Teori Manning : Kesesakan tidak dapat dipisahkan dari factor setting dimana hal itu terjadi.
3. Teori Kendala Perilaku
Kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu.Kesesakan akan terjadi bila system regulasi privasi seseorang tidak berjalan secara efektif lebih banyak kontak social yang tidak diinginkan. Kesesakan timbul karena ada usaha-usaha yang terlalu banyak, yang butuh energy fisik maupun psikis, guna mengatur tingkat interaksi yang diinginkan.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
1. Faktor Personal
a. Kontrol Pribadi dan Locus Of Control; Selligman, dkk :
Kepadatan meningkat bias menghasilkan kesesakan bila individu sudah tidak punya control terhadap lingkungan sekitarnya. Control pribadi dapat mengurangi kesesakan. Locus Of Control ibternal : Kecendrungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaab yang ada di dalam dirinya lah yang berpengaruh kedalam kehidupannya.
b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi
Menurut Sundstrom : Pengalaman pribadi dalam kondisi padat mempengaruhi tingkat toleransi.
Menurut Yusuf : Kepadatan meningkat menyebabkan timbulnya kreatifitas sebagai intervensi atau upaya menekankan perasaan sesak.
c. Jenis kelamin dan usia
Pria lebih reaktif terhadap kondisi sesak
Perkembangan, gejala reaktif terhadap kesesakan timbul pada individu usia muda.
2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
b. Formasi koalisi
c. Kualitas hubungan
d. Informasi yang tersedia
3. Faktor Fisik
- Goves dan Hughes : Kesesakan didalamnya rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik, jenis rumah, urutan lantai, ukuran, suasan sekitar.
- Altman dan Bell, dkk : Suara gaduh,panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, karakteristik setting mempengaruhi kesesakan.

Kamis, 29 April 2010

Ruang Arsitektur

Ruang merupakan perwujudan sebuah keberadaan dari ketidak-beradaan yang tak terbatas. Ketika manusia prasejarah menjadikan gua sebagai tempat tinggalnya, maka disitulah keberadaan ditetapkan sebagai sebuah ruang. Ketika sebuah ruang gua yang besar dipilih salah satu bagiannya sebagai ruang tidur, maka terwujudlah ruang lain yang lebih kecil. Kualitas ruang tidur yang lebih kuat dan terasa dengan batas alas tidur, entah dari dedaunan maupun kulit hewan. Kualitas ruang gua yang lebih besar namun lebih lemah ditandai dengan berbagai bekas sentuhan, perletakan peralatan, coretan di dinding gua, pencapaian cahaya api, dan lain-lain yang merupakan hasil budi daya manusia. Manusia prasejarah mewujudkan sebuah ruang dengan memilihnya dan membatasi dari ketidak terbatasan alam semesta yang sangat luas.

Masyarakat vernakular yang memiliki pola pikir lebih maju dari manusia prasejarah bukan hanya mencari dan menemukan ruang. Mereka berusaha membuat ruang yang lebih jinak dari keganasan alam semesta. sebuah pohon di hutan, bagian atasnya dapat ditempatkan suatu bangunan ´rumah pohon´. Selanjutnya sebuah tempat diciptakan justru dengan menebang beberapa pohon di hutan yang luas. Ruang-ruang baru dibuat dengan merampas bagian dari alam semesta dan menggubahnya menjadi habitat yang lebih sesuai untuk tempat tinggal manusia dalam melaksanakan kegiatan berbudaya. Semakin tersentuh budaya, maka semakin kuatlah eksistensi ruang tersebut. Semakin tidak tersentuh budaya, maka eksistensinya berangsur-angsur akan hilang tersapu oleh elemen alam dan menjadi ruang semesta yang tidak terbatas lagi.

Ruang-ruang yang tercipta di masa kerajaan kuno demikian berbinar saat pemerintahannya berkuasa. Ruang-ruang tersebut menjadi hilang ketika kerajaan runtuh. Berkas ruang yang menunjukkan keberadaan budaya dan tradisi ditinggalkan penghuninya. Menjadi semakin pudar ketika tidak dirawat, menjadi hilang ketika ditumbuhi semak belukar dan pohon-pohon besar. Menjadi alam semesta kembali ketika tertimbun oleh tanah. Di tempat lain yang lebih jauh, tercipta kerajaan baru dengan kekuatan ruang-ruang yang berbinar pula. Kerajaan yang masih bertahan sampai saat ini akan tetap dapat pula mempertahankan keberadaan ruang-ruang untuk manusianya. Dalam era modern, kerajaan baru yang tetap eksis dapat menganggap bahwa berkas kerajaan kuno bukanlah ruang yang dapat digunakan untuk manusia dalam kegiatan berbudaya. Namun demikian, berkas kerajaan kuno tersebut dapat juga menjadi ruang bagi kerajaan baru jika pemerintahannya yang modern menggali, membersihkan dan merawatnya menjadi ruang rekreasi sejarah. Ruang-ruang timbul dan tenggelam di permukaan bumi, dari ruang yang ditemukan, menjadi dibuat, dapat hilang dan dapat diwujudkan kembali.

Secara naluriah setiap individu memiliki ruang yang disebut ´personal space' atau ?uang pribadi´. Seseorang tentu akan memperkuat eksistensi ruang pribadinya ketika bertemu dengan orang lain yang tidak dikenal, hal ini mengakibatkan seseorang akan selalu menjaga jarak dengan orang asing lain. Sebaliknya, jika bertemu dengan orang yang dikenal dengan akrab, maka ruang pribadi itu dapat melemah disatu sisi dan saling mempersilahkan untuk melebur dari pertemuan 2 orang, 3 orang dan seterusnya hingga tercipta ruang kelompok.. ruang kelompok dari sebuah keluarga sangat kuat kesatuan eksistensinya, hingga bersifat seperti ruang pribadi yang besar. Dalam penelitian psikologi, besaran ruang pribadi dan ruang kelompok tersebut demikian bervariasi, dipengaruhi oleh gender, status sosial, suku bangsa, posisi di sebelah kiri/kanan dan posisi di sebelah atas/bawah.

Secara tidak sadar, seseorang dan sekelompok orang akan membentuk eksistensi ruang dengan sifat dan perilakunya. Segerombolan anak laki-laki muda yang sedang nongkrong dapat membentuk ruang kelompok yang ditandai dengan berkas berupa puntung-puntung rokok. Segerombolan remaja putri juga dapat membentuk ruang kelompok yang ditandai dengan bau parfum. Setiap manusia memiliki ciri terhadap sifat dan perilakunya hingga membentuk ruang yang spesifik. Budaya dari suatu bangsa juga memiliki ciri tersendiri hingga membentuk ruang budaya yang spesifik pula. Ciri ruang dari masyarakat berbudaya Barat tentu akan berbeda dengan masyarakat Timur, Asia, Afrika dan Nusantara. Perkembangan intelektual manusia telah menghasilkan berbagai konsep dan filsafat tentang ruang mulai dari masa prasejarah, vernakular, tradisional, modern dan kontemporer.

Perkembangan budaya telah membentuk ruang-ruang pribadi dan kelompok melebihi besarannya secara naluriah. Manusia membutuhkan rekreasi pikiran dalam menyerap kualitas ruang yang terdukung oleh berbagai konsep arsitektural. Ruang Lao Tze menetapkan ke?tiada?an sebagai ruang yang hakiki disamping ke?ada?an, ruang Gothic menghubungkan dengan spiritualitas yang menghargai keberadaan cahaya, ruang Kubisme menghubungkan relativitasnya terhadap waktu, dan berbagai konsep lainnya. Sebuah ruang yang dirancang dengan budaya dan paham tertentu belum tentu sesuai untuk seseorang atau sekelompok orang dalam budaya dan paham yang lain. Walau demikian, setiap orang juga memiliki tingkat adaptasi untuk dapat menyesuaikan dirinya di dalam konsep budaya dan paham ruang tertentu. Setiap orang yang menempati ruang juga cenderung melakukan perubahannya sesuai dengan selera dan kebutuahnnya, hal ini juga disebut sebagai kegiatan adaptasi. Semakin modern manusia, kecepatan dan globalisasi budaya dan paham tentang ruang berkembang semakin cepat pula. Tata cara penyusunan ruang ditetapkan secara filsafati hingga berbagai elemen pembatas dan isinya membawa ciri tertentu yang mengidentifikasikan sebuah pencapaian kemajuan budaya manusia.

Pembatas dan isi dari sebuah ruang dapat memiliki eksistensi yang kuat maupun lemah. Baik eksistensi yang kuat ataupun lemah tidak ada yang lebih baik, karena setiap ruang memiliki konsep yang spesifik. Batas ruang yang paling mendasar adalah batas bawah, sebuah lokasi bidang yang paling dekat dan selalu bersentuhan dengan manusia pengguna ruang. Meletakkan tikar di atas hamparan rumput adalah salah satu contoh pembentukan ruang yang paling sederhana. Lebih sederhana lagi jika hamparan rumput tersebut hanya ditandai dengan empat buah batu pada sudut-sudut segi empatnya, hingga tercipta garis imajiner yang membentuk ruang. Jika meninjau lebih dalam bahwa arsitektur bukan hanya dapat diapresiasi dengan indera mata saja, tapi juga degan indera yang lain, maka batas ruang dapat pula berupa nuansa gelap, berkas cahaya lampu, aroma sebuah material atau wangi bunga, perbedaan tekanan udara dan lain-lain. Sebuah pembatas ruang akan semakin kuat jika semakin kontras pula sifatnya terhadap ruang lain. Dinding masif dan penutup atap adalah pencapaian yang hampir maksimal dari pembatasan sebuah ruang. Dalam ruang yang berbeda tersebut akan terasa kuat pula jika penerangannya berbeda, aromanya berbeda, tekanan udaranya berbeda, warna elemen pembatasnya juga berbeda dan lain sebagainya.

Dalam penelitian tentang perilaku manusia terhadap ruang, didapatkan kesimpulan bahwa seseorang cenderung mencari lokasi ruang yang sesuai dengan skalanya. Ruang yang terlalu luas menyebabkan seseorang kehilangan orientasi, mereka akan cenderung mencari sub-ruang yang lebih kecil dengan kejelasan unsur pembatas dan isi. Orang cenderung mendekati petak dinding, petak lantai, kolom, dan berbagai elemen arsitektur/konstruksi lain. Ruang dengan orientasi-orientasinya yang semakin kuat dan terisi dengan aktifitas disebut sebagai ruang positif. Sebaliknya, ruang yang lain disebut dengan ruang negatif. Ruang juga ada yang bersifat statis/tetap dan dipergunakan sebagai wadah kegiatan, serta ada pula yang dinamis/bergerak dan dipergunakan sebagai sikulasi. Susunan dari ruang-ruang ada yang bersifat stabil terlingkup oleh pembatas yang tegas, namun ada pula yang mengalir terhubung antara satu ruang dengan ruang yang lainnya. Dalam sebuah bangunan, terdapat ruang di bawah atap yang disebut sebagai ?ruang dalam? dan ruang yang ada di halaman luar yang disebut sebagai ?ruang luar?.

Pemahaman terhadap ruang luar dan ruang dalam berhubungan dengan budaya dan kondisi geografi suatu bangsa. Masyarakat Barat dan Asia dengan iklim 4 musim yang tidak bersahabat tentu akan berbeda dengan masyarakat nusantara dengan iklim 2 musim yang bersahabat. Musim kemarau dan hujan air tidak akan seganas musim panas dan salju yang dapat merusak kulit manusia. Hal ini menyebabkan masyarakat nusantara selau berakrab diri dengan alam. Iklim nusantara tidak pernah diantisipasi oleh masyarakat kuno yang berbudaya tinggi, namun sebaliknya dikelola untuk dapat didayagunakan bersama dengan berfungsinya ruang-ruang arsitektur. Pemahaman spiritual masyarakat kuno nusantara berkolaborasi dengan iklim dan keanekaragaman hayati menjadikan pola kehidupan budaya ruang nusantara yang unik. Terbuka luas kesempatan untuk mengeksplorasi pemahaman ruang nusantara dari peneltian terhadap arsitektur tradisional, pola kehidupan budaya masyarakat, keanekaragaman hayati, realitas kehidupan spiritual dan persahabatan terhadap iklim.

Sumber,

http://architect-news.com/index.php/modul-ajar/147

“Jatidiri Arsitektur Indonesia yang Hilang”

Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, ketika perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju, maka perkembangan arsitektur – terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus tanpa ada saringan yang cenderung menghilangkan jatidiri.

Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu, diperlukan pula kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.

Kini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang tidak mempunyai ‘jati diri indonesiawi’-nya.

Interaksi antara Pemilik Bangunan, Peraturan Daerah dan Arsitek perlu memiliki kesamaan pandang – kendati pada kenyataannya terdapat banyak perbedaaan yang tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah atau ruang sebagai kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi pengembangan masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan yang dinamis.

Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di atas, maka lambat atau cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan berantakan, sebab sikap Arsitek berbeda dengan pemakai maupun pengamat karya arsitektur dalam memandang dan memikirkan tata lingkungan buatan sebagaimana dilakukan sebagian orang. Dengan hadirnya arsitektur, masyarakat mempunyai persepsi dan kebutuhan yang berbeda karena dipengaruhi berbagai cara oleh sifat lingkungan sebagai akibat dari perilaku Arsitek dalam melakukan rancangannya.

Karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur seringkali dinilai kurang kompromi dengan lingkungannya. Terciptanya karya arsitektur yang cocok dan sesuai dengan lingkungan-nya tentu bukan monopoli dari si Arsiteknya saja. Penjabaran dan perwujudan akan tata nilai ekonomis karya arsitektur akan melibatkan semua pihak. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sudah memiliki preferensi dalam kognisinya tentang bentuk-bentuk yang ditampilkan sebagai bentuk-bentuk yang secara historis pernah menjadi miliknya. Dari Pemberi Tugas (bouwheer) tentu sangat diharapkan bisa menahan emosi kehendaknya, sehingga Arsitek dapat merealisir gagasan bouwheer dengan baik dan optimal.

Sumber, budi fathony

Senin, 12 April 2010

PRIVASI DAN TERITORIAL MANUSIA

PRIVASI
Privasi merupakan kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.

Privacy adalah satu konsep dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, dimana konsep ini amat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas.
Privacy merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang yang di kehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. ( Dibyo Hartono , 1986 )
Privacy merupakan suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan – pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang di inginkan. (dalam soesilo , 1988 )
Privacy adalah proses pengontrolan yang selektif terhadapa akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. (Altman , 1975)

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Privasi
1.Faktor Personal
2.Faktor Situasional
3.Faktor Budaya

PENGARUH PRIVASI TERHADAP PRILAKU :
Pengaruh privasi terhadap perilaku dipicu dari berbagai sumber :
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari prilaku yang penting adalah untuk mengtur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social.
Maxine Walfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam khidupan sehari-hari.
Westin (dalam Holahan , 1982 ) bahwa ketertutupan terhadap informasi yang personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain.
Privasi dapat secara sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau kompetisi; seseorang memberikan detil personalnya (sering untuk kepentingan periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas

TERITORIAL MANUSIA
Teritorialitas merupakan suatu perwujudan “ego” sesorang yang dikarenakan orang tersebut tidak ingin diganggu, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu perwujudan dari privasi seseorang.

Tertitorial suatu tingkah laku yang diasosikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.
Teritorial merupakan suatu pola tingkah laku yang berhubungan dengan kepemilikan atau hak seseorang atau kelompok orang atas personalisasi dan juga merupakan pertahanan terhadap gangguan dari luar.
Karakter Teritorial
Menurut Lang (1987) , terdapat 4 karakter dari territorial tersebut yaitu meliputi :
1. Kepemilikan atu hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
4. Pengatur dari berbagai fungsi , mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan – kebutuhan estetika
Dari berbagai macam territorial dapat di bagi menjadi beberapa bagian yang meliputi :
a. Teritorial Primer
Territorial yang dipergunakan untuk secara khusus dari kepemilikannya.
Contoh : ( Negara , Ruang Kerja , Pekarangan )
b. Teritorial Sekunder
Territorial yang dipergunakan untuk setiap orang dengan pemakaian dan pengontrolan oleh perorangan.
Contoh : ( Toilet , zona servis dan sebagainya )
c. Teritorial Umum
Territorial yang dipergunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada.
Contoh : ( Stalls , Turns dan Use Space )

Referensi :

1.www.wikipedia.com
2.www.google.com
3.Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Universitas Gunadarma.Jakarta, 1998.

Sabtu, 27 Maret 2010

Pendekatan perilaku manusia dalam Perancangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota-Kota Multikultural

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Dengan demikian, citra kota pun meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.



Pendahuluan

Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir, selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta, Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran, perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk, drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya (Dyayadi, 2008).

Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.

Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran (Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.

Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka tinggali. Kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota yang bersangkutan. Inilah lingkaran setan yang harus diputus, agar dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.

Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural.



Pembahasan

Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis (physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran manusia secara persuasif.

Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat fisikal harus didukung pula dengan tindakan-tindakan persuasif berdasarkan pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli kota itu.

Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.

Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja, pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.

Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyuban-paguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.

Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.

Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangan-kekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu, kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.

Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu. Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.

Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.

Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.

Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.



Penutup

Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH), khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:

1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri.
3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah.

Referensi

Dyayadi. 2008. Tata Kota menurut Islam: Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik dan Berbasis Sosial. Jakarta: Khalifa

Chapman, Alan. 1995. Maslow’s Hierarchy of Needs. diakses dari http://www.businessballs.com/maslow.htm pada tanggal 5 Januari 2009

Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo

Lewis, Julie, Perry Walker & Catherine Unsworth (eds.). 1998. Participation Works! 21 Techniques of Community Participation for the 21st Century. London: New Economics Fondation

Stea, David. 1984. Space, Territory and Human Movements. dalam Wilson, Forrest, A Graphic Survey of Perception and Behaviour for the Design Professions. New York: Van Nostrand Reinhold