Ruang merupakan perwujudan sebuah keberadaan dari ketidak-beradaan yang tak terbatas. Ketika manusia prasejarah menjadikan gua sebagai tempat tinggalnya, maka disitulah keberadaan ditetapkan sebagai sebuah ruang. Ketika sebuah ruang gua yang besar dipilih salah satu bagiannya sebagai ruang tidur, maka terwujudlah ruang lain yang lebih kecil. Kualitas ruang tidur yang lebih kuat dan terasa dengan batas alas tidur, entah dari dedaunan maupun kulit hewan. Kualitas ruang gua yang lebih besar namun lebih lemah ditandai dengan berbagai bekas sentuhan, perletakan peralatan, coretan di dinding gua, pencapaian cahaya api, dan lain-lain yang merupakan hasil budi daya manusia. Manusia prasejarah mewujudkan sebuah ruang dengan memilihnya dan membatasi dari ketidak terbatasan alam semesta yang sangat luas.
Masyarakat vernakular yang memiliki pola pikir lebih maju dari manusia prasejarah bukan hanya mencari dan menemukan ruang. Mereka berusaha membuat ruang yang lebih jinak dari keganasan alam semesta. sebuah pohon di hutan, bagian atasnya dapat ditempatkan suatu bangunan ´rumah pohon´. Selanjutnya sebuah tempat diciptakan justru dengan menebang beberapa pohon di hutan yang luas. Ruang-ruang baru dibuat dengan merampas bagian dari alam semesta dan menggubahnya menjadi habitat yang lebih sesuai untuk tempat tinggal manusia dalam melaksanakan kegiatan berbudaya. Semakin tersentuh budaya, maka semakin kuatlah eksistensi ruang tersebut. Semakin tidak tersentuh budaya, maka eksistensinya berangsur-angsur akan hilang tersapu oleh elemen alam dan menjadi ruang semesta yang tidak terbatas lagi.
Ruang-ruang yang tercipta di masa kerajaan kuno demikian berbinar saat pemerintahannya berkuasa. Ruang-ruang tersebut menjadi hilang ketika kerajaan runtuh. Berkas ruang yang menunjukkan keberadaan budaya dan tradisi ditinggalkan penghuninya. Menjadi semakin pudar ketika tidak dirawat, menjadi hilang ketika ditumbuhi semak belukar dan pohon-pohon besar. Menjadi alam semesta kembali ketika tertimbun oleh tanah. Di tempat lain yang lebih jauh, tercipta kerajaan baru dengan kekuatan ruang-ruang yang berbinar pula. Kerajaan yang masih bertahan sampai saat ini akan tetap dapat pula mempertahankan keberadaan ruang-ruang untuk manusianya. Dalam era modern, kerajaan baru yang tetap eksis dapat menganggap bahwa berkas kerajaan kuno bukanlah ruang yang dapat digunakan untuk manusia dalam kegiatan berbudaya. Namun demikian, berkas kerajaan kuno tersebut dapat juga menjadi ruang bagi kerajaan baru jika pemerintahannya yang modern menggali, membersihkan dan merawatnya menjadi ruang rekreasi sejarah. Ruang-ruang timbul dan tenggelam di permukaan bumi, dari ruang yang ditemukan, menjadi dibuat, dapat hilang dan dapat diwujudkan kembali.
Secara naluriah setiap individu memiliki ruang yang disebut ´personal space' atau ?uang pribadi´. Seseorang tentu akan memperkuat eksistensi ruang pribadinya ketika bertemu dengan orang lain yang tidak dikenal, hal ini mengakibatkan seseorang akan selalu menjaga jarak dengan orang asing lain. Sebaliknya, jika bertemu dengan orang yang dikenal dengan akrab, maka ruang pribadi itu dapat melemah disatu sisi dan saling mempersilahkan untuk melebur dari pertemuan 2 orang, 3 orang dan seterusnya hingga tercipta ruang kelompok.. ruang kelompok dari sebuah keluarga sangat kuat kesatuan eksistensinya, hingga bersifat seperti ruang pribadi yang besar. Dalam penelitian psikologi, besaran ruang pribadi dan ruang kelompok tersebut demikian bervariasi, dipengaruhi oleh gender, status sosial, suku bangsa, posisi di sebelah kiri/kanan dan posisi di sebelah atas/bawah.
Secara tidak sadar, seseorang dan sekelompok orang akan membentuk eksistensi ruang dengan sifat dan perilakunya. Segerombolan anak laki-laki muda yang sedang nongkrong dapat membentuk ruang kelompok yang ditandai dengan berkas berupa puntung-puntung rokok. Segerombolan remaja putri juga dapat membentuk ruang kelompok yang ditandai dengan bau parfum. Setiap manusia memiliki ciri terhadap sifat dan perilakunya hingga membentuk ruang yang spesifik. Budaya dari suatu bangsa juga memiliki ciri tersendiri hingga membentuk ruang budaya yang spesifik pula. Ciri ruang dari masyarakat berbudaya Barat tentu akan berbeda dengan masyarakat Timur, Asia, Afrika dan Nusantara. Perkembangan intelektual manusia telah menghasilkan berbagai konsep dan filsafat tentang ruang mulai dari masa prasejarah, vernakular, tradisional, modern dan kontemporer.
Perkembangan budaya telah membentuk ruang-ruang pribadi dan kelompok melebihi besarannya secara naluriah. Manusia membutuhkan rekreasi pikiran dalam menyerap kualitas ruang yang terdukung oleh berbagai konsep arsitektural. Ruang Lao Tze menetapkan ke?tiada?an sebagai ruang yang hakiki disamping ke?ada?an, ruang Gothic menghubungkan dengan spiritualitas yang menghargai keberadaan cahaya, ruang Kubisme menghubungkan relativitasnya terhadap waktu, dan berbagai konsep lainnya. Sebuah ruang yang dirancang dengan budaya dan paham tertentu belum tentu sesuai untuk seseorang atau sekelompok orang dalam budaya dan paham yang lain. Walau demikian, setiap orang juga memiliki tingkat adaptasi untuk dapat menyesuaikan dirinya di dalam konsep budaya dan paham ruang tertentu. Setiap orang yang menempati ruang juga cenderung melakukan perubahannya sesuai dengan selera dan kebutuahnnya, hal ini juga disebut sebagai kegiatan adaptasi. Semakin modern manusia, kecepatan dan globalisasi budaya dan paham tentang ruang berkembang semakin cepat pula. Tata cara penyusunan ruang ditetapkan secara filsafati hingga berbagai elemen pembatas dan isinya membawa ciri tertentu yang mengidentifikasikan sebuah pencapaian kemajuan budaya manusia.
Pembatas dan isi dari sebuah ruang dapat memiliki eksistensi yang kuat maupun lemah. Baik eksistensi yang kuat ataupun lemah tidak ada yang lebih baik, karena setiap ruang memiliki konsep yang spesifik. Batas ruang yang paling mendasar adalah batas bawah, sebuah lokasi bidang yang paling dekat dan selalu bersentuhan dengan manusia pengguna ruang. Meletakkan tikar di atas hamparan rumput adalah salah satu contoh pembentukan ruang yang paling sederhana. Lebih sederhana lagi jika hamparan rumput tersebut hanya ditandai dengan empat buah batu pada sudut-sudut segi empatnya, hingga tercipta garis imajiner yang membentuk ruang. Jika meninjau lebih dalam bahwa arsitektur bukan hanya dapat diapresiasi dengan indera mata saja, tapi juga degan indera yang lain, maka batas ruang dapat pula berupa nuansa gelap, berkas cahaya lampu, aroma sebuah material atau wangi bunga, perbedaan tekanan udara dan lain-lain. Sebuah pembatas ruang akan semakin kuat jika semakin kontras pula sifatnya terhadap ruang lain. Dinding masif dan penutup atap adalah pencapaian yang hampir maksimal dari pembatasan sebuah ruang. Dalam ruang yang berbeda tersebut akan terasa kuat pula jika penerangannya berbeda, aromanya berbeda, tekanan udaranya berbeda, warna elemen pembatasnya juga berbeda dan lain sebagainya.
Dalam penelitian tentang perilaku manusia terhadap ruang, didapatkan kesimpulan bahwa seseorang cenderung mencari lokasi ruang yang sesuai dengan skalanya. Ruang yang terlalu luas menyebabkan seseorang kehilangan orientasi, mereka akan cenderung mencari sub-ruang yang lebih kecil dengan kejelasan unsur pembatas dan isi. Orang cenderung mendekati petak dinding, petak lantai, kolom, dan berbagai elemen arsitektur/konstruksi lain. Ruang dengan orientasi-orientasinya yang semakin kuat dan terisi dengan aktifitas disebut sebagai ruang positif. Sebaliknya, ruang yang lain disebut dengan ruang negatif. Ruang juga ada yang bersifat statis/tetap dan dipergunakan sebagai wadah kegiatan, serta ada pula yang dinamis/bergerak dan dipergunakan sebagai sikulasi. Susunan dari ruang-ruang ada yang bersifat stabil terlingkup oleh pembatas yang tegas, namun ada pula yang mengalir terhubung antara satu ruang dengan ruang yang lainnya. Dalam sebuah bangunan, terdapat ruang di bawah atap yang disebut sebagai ?ruang dalam? dan ruang yang ada di halaman luar yang disebut sebagai ?ruang luar?.
Pemahaman terhadap ruang luar dan ruang dalam berhubungan dengan budaya dan kondisi geografi suatu bangsa. Masyarakat Barat dan Asia dengan iklim 4 musim yang tidak bersahabat tentu akan berbeda dengan masyarakat nusantara dengan iklim 2 musim yang bersahabat. Musim kemarau dan hujan air tidak akan seganas musim panas dan salju yang dapat merusak kulit manusia. Hal ini menyebabkan masyarakat nusantara selau berakrab diri dengan alam. Iklim nusantara tidak pernah diantisipasi oleh masyarakat kuno yang berbudaya tinggi, namun sebaliknya dikelola untuk dapat didayagunakan bersama dengan berfungsinya ruang-ruang arsitektur. Pemahaman spiritual masyarakat kuno nusantara berkolaborasi dengan iklim dan keanekaragaman hayati menjadikan pola kehidupan budaya ruang nusantara yang unik. Terbuka luas kesempatan untuk mengeksplorasi pemahaman ruang nusantara dari peneltian terhadap arsitektur tradisional, pola kehidupan budaya masyarakat, keanekaragaman hayati, realitas kehidupan spiritual dan persahabatan terhadap iklim.
Sumber,
http://architect-news.com/index.php/modul-ajar/147
Kamis, 29 April 2010
“Jatidiri Arsitektur Indonesia yang Hilang”
Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, ketika perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju, maka perkembangan arsitektur – terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus tanpa ada saringan yang cenderung menghilangkan jatidiri.
Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu, diperlukan pula kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.
Kini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang tidak mempunyai ‘jati diri indonesiawi’-nya.
Interaksi antara Pemilik Bangunan, Peraturan Daerah dan Arsitek perlu memiliki kesamaan pandang – kendati pada kenyataannya terdapat banyak perbedaaan yang tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah atau ruang sebagai kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi pengembangan masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan yang dinamis.
Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di atas, maka lambat atau cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan berantakan, sebab sikap Arsitek berbeda dengan pemakai maupun pengamat karya arsitektur dalam memandang dan memikirkan tata lingkungan buatan sebagaimana dilakukan sebagian orang. Dengan hadirnya arsitektur, masyarakat mempunyai persepsi dan kebutuhan yang berbeda karena dipengaruhi berbagai cara oleh sifat lingkungan sebagai akibat dari perilaku Arsitek dalam melakukan rancangannya.
Karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur seringkali dinilai kurang kompromi dengan lingkungannya. Terciptanya karya arsitektur yang cocok dan sesuai dengan lingkungan-nya tentu bukan monopoli dari si Arsiteknya saja. Penjabaran dan perwujudan akan tata nilai ekonomis karya arsitektur akan melibatkan semua pihak. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sudah memiliki preferensi dalam kognisinya tentang bentuk-bentuk yang ditampilkan sebagai bentuk-bentuk yang secara historis pernah menjadi miliknya. Dari Pemberi Tugas (bouwheer) tentu sangat diharapkan bisa menahan emosi kehendaknya, sehingga Arsitek dapat merealisir gagasan bouwheer dengan baik dan optimal.
Sumber, budi fathony
Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu, diperlukan pula kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.
Kini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang tidak mempunyai ‘jati diri indonesiawi’-nya.
Interaksi antara Pemilik Bangunan, Peraturan Daerah dan Arsitek perlu memiliki kesamaan pandang – kendati pada kenyataannya terdapat banyak perbedaaan yang tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah atau ruang sebagai kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi pengembangan masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan yang dinamis.
Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di atas, maka lambat atau cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan berantakan, sebab sikap Arsitek berbeda dengan pemakai maupun pengamat karya arsitektur dalam memandang dan memikirkan tata lingkungan buatan sebagaimana dilakukan sebagian orang. Dengan hadirnya arsitektur, masyarakat mempunyai persepsi dan kebutuhan yang berbeda karena dipengaruhi berbagai cara oleh sifat lingkungan sebagai akibat dari perilaku Arsitek dalam melakukan rancangannya.
Karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur seringkali dinilai kurang kompromi dengan lingkungannya. Terciptanya karya arsitektur yang cocok dan sesuai dengan lingkungan-nya tentu bukan monopoli dari si Arsiteknya saja. Penjabaran dan perwujudan akan tata nilai ekonomis karya arsitektur akan melibatkan semua pihak. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sudah memiliki preferensi dalam kognisinya tentang bentuk-bentuk yang ditampilkan sebagai bentuk-bentuk yang secara historis pernah menjadi miliknya. Dari Pemberi Tugas (bouwheer) tentu sangat diharapkan bisa menahan emosi kehendaknya, sehingga Arsitek dapat merealisir gagasan bouwheer dengan baik dan optimal.
Sumber, budi fathony
Senin, 12 April 2010
PRIVASI DAN TERITORIAL MANUSIA
PRIVASI
Privasi merupakan kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Privacy adalah satu konsep dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, dimana konsep ini amat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas.
Privacy merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang yang di kehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. ( Dibyo Hartono , 1986 )
Privacy merupakan suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan – pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang di inginkan. (dalam soesilo , 1988 )
Privacy adalah proses pengontrolan yang selektif terhadapa akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. (Altman , 1975)
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Privasi
1.Faktor Personal
2.Faktor Situasional
3.Faktor Budaya
PENGARUH PRIVASI TERHADAP PRILAKU :
Pengaruh privasi terhadap perilaku dipicu dari berbagai sumber :
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari prilaku yang penting adalah untuk mengtur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social.
Maxine Walfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam khidupan sehari-hari.
Westin (dalam Holahan , 1982 ) bahwa ketertutupan terhadap informasi yang personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain.
Privasi dapat secara sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau kompetisi; seseorang memberikan detil personalnya (sering untuk kepentingan periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas
TERITORIAL MANUSIA
Teritorialitas merupakan suatu perwujudan “ego” sesorang yang dikarenakan orang tersebut tidak ingin diganggu, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu perwujudan dari privasi seseorang.
Tertitorial suatu tingkah laku yang diasosikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.
Teritorial merupakan suatu pola tingkah laku yang berhubungan dengan kepemilikan atau hak seseorang atau kelompok orang atas personalisasi dan juga merupakan pertahanan terhadap gangguan dari luar.
Karakter Teritorial
Menurut Lang (1987) , terdapat 4 karakter dari territorial tersebut yaitu meliputi :
1. Kepemilikan atu hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
4. Pengatur dari berbagai fungsi , mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan – kebutuhan estetika
Dari berbagai macam territorial dapat di bagi menjadi beberapa bagian yang meliputi :
a. Teritorial Primer
Territorial yang dipergunakan untuk secara khusus dari kepemilikannya.
Contoh : ( Negara , Ruang Kerja , Pekarangan )
b. Teritorial Sekunder
Territorial yang dipergunakan untuk setiap orang dengan pemakaian dan pengontrolan oleh perorangan.
Contoh : ( Toilet , zona servis dan sebagainya )
c. Teritorial Umum
Territorial yang dipergunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada.
Contoh : ( Stalls , Turns dan Use Space )
Referensi :
1.www.wikipedia.com
2.www.google.com
3.Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Universitas Gunadarma.Jakarta, 1998.
Privasi merupakan kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Privacy adalah satu konsep dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, dimana konsep ini amat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas.
Privacy merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang yang di kehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. ( Dibyo Hartono , 1986 )
Privacy merupakan suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan – pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang di inginkan. (dalam soesilo , 1988 )
Privacy adalah proses pengontrolan yang selektif terhadapa akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. (Altman , 1975)
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Privasi
1.Faktor Personal
2.Faktor Situasional
3.Faktor Budaya
PENGARUH PRIVASI TERHADAP PRILAKU :
Pengaruh privasi terhadap perilaku dipicu dari berbagai sumber :
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari prilaku yang penting adalah untuk mengtur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social.
Maxine Walfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam khidupan sehari-hari.
Westin (dalam Holahan , 1982 ) bahwa ketertutupan terhadap informasi yang personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain.
Privasi dapat secara sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau kompetisi; seseorang memberikan detil personalnya (sering untuk kepentingan periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas
TERITORIAL MANUSIA
Teritorialitas merupakan suatu perwujudan “ego” sesorang yang dikarenakan orang tersebut tidak ingin diganggu, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu perwujudan dari privasi seseorang.
Tertitorial suatu tingkah laku yang diasosikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.
Teritorial merupakan suatu pola tingkah laku yang berhubungan dengan kepemilikan atau hak seseorang atau kelompok orang atas personalisasi dan juga merupakan pertahanan terhadap gangguan dari luar.
Karakter Teritorial
Menurut Lang (1987) , terdapat 4 karakter dari territorial tersebut yaitu meliputi :
1. Kepemilikan atu hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
4. Pengatur dari berbagai fungsi , mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan – kebutuhan estetika
Dari berbagai macam territorial dapat di bagi menjadi beberapa bagian yang meliputi :
a. Teritorial Primer
Territorial yang dipergunakan untuk secara khusus dari kepemilikannya.
Contoh : ( Negara , Ruang Kerja , Pekarangan )
b. Teritorial Sekunder
Territorial yang dipergunakan untuk setiap orang dengan pemakaian dan pengontrolan oleh perorangan.
Contoh : ( Toilet , zona servis dan sebagainya )
c. Teritorial Umum
Territorial yang dipergunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada.
Contoh : ( Stalls , Turns dan Use Space )
Referensi :
1.www.wikipedia.com
2.www.google.com
3.Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Universitas Gunadarma.Jakarta, 1998.
Langganan:
Postingan (Atom)